Rabu, 22 Juni 2011

Mencontek (Memperoleh Nilai Dengan Cara Menghilangkan “Nilai”)


Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, nilai akhir dari sebuah ujian adalah tujuan utama. Nilai terbaik selalu mewakilkan pelajar yang terbaik, hal ini kemudian menjadikan pelajar memiliki orientasi bahwa sekolah adalah untuk mendapatkan nilai baik dan lulus. Peran orang tua dan lingkungan yang selalu menciptakan “suasana” bahwa yang mendapatkan nilai tertinggi adalah yang terbaik juga memaksa seorang anak/pelajar untuk berusaha semaksimal mungkin mendapatkan nilai tertinggi. Orientasi pelajar yang cenderung hanya mementingkkan nilai tinggi untuk lulus ujian dapat menjadi bumerang bagi pelajar itu sendiri. Sebab mereka sering mengabaikan proses mendapatkan nilai tersebut dan hanya mencari cara mendapatkan nilai terbaik. Inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian dan melakukan praktek mencontek.
Menurut Ratna Megawangi (2005), Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.[1]
Ada orang yang beranggapan mencontek sebagai masalah biasa saja, namun tidak sedikit juga yang memandang serius masalah ini. Jarang sekali kita dengar masalah mencontek dibahas secara serius, biasanya cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan perguruan/sekolah itu sendiri. Jarang terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan mencontek dalam ulangan. Sekolah juga tidak pernah mengadakan rapat wali murid, guru, kepala sekolah, dan pembina pendidikan untuk membahas masalah mencontek, mungkin karena beranggapan bahwa mencontek adalah masalah individu si anak.
Mencontek juga mengakibatkan penilaian guru menjadi sangat subyektif, kebanyakan para guru hanya menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas. Jika ini terus dibiarkan, maka dunia pendidikan tidak akan maju, bahkan kelak menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

Pengertian Mencontek
Mencontek atau menjiplak atau ngopek/ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata mencontek sama dengan cheating/curang. Beliau mengutip pendapat Bower yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.[2] Sedangkan menurut Suparno, Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.[3]
Mencontek dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dilakukan dengan usaha sendiri ataupun yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan teman atau bahkan guru. Mencontek dengan Usaha sendiri dapat dilakukan dengan membuat catatan sendiri, membuka  buku, membuat coretan-coretan dikertas kecil, ditangan, meja, dan di media lain yang bisa disembunyikan bahkan ada juga yang dilakukan dengan mencuri jawaban teman. Sedangkan mencontek yang bekerjasama bisa dilakukan dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan teman dan membuat kode-kode tertentu, dalam hal saling berbagi serta meminta jawaban kepada teman.
Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004)  mengenai masalah mencontek yang ia istilahkan dengan cheating, ia menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang.[4] Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan mencontek/cheating.
1.         Karena terpengaruh setelah melihat orang lain mencontek meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2.         Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3.         Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4.         Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5.         Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6.         Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7.         Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8.         Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9.         Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
10.     Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
11.     Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek.[5] Pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai semata, tanpa memperdulikan bagaimana proses memperoleh nilai tersebut akan mendorong terjadinya kegiatan mencontek. Bila permasalahan ini hanya dianggap masalah sepele, nilai kejujuran akan hilang dari diri generasi bangsa ini.

Kasus kecurangan Ujian di Banda Aceh dan di Medan
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, kasus kecurangan dalam ujian bukanlah barang baru. Namun permasalahan ini baru mulai muncul kepermukaan sejak lahirnya era reformasi dan munculnya sistem UN (Ujian Nasional). sejumlah permasalah kecurangan silih berganti ditemukan dalam pelaksanaan UN.
Untuk di Kota Banda Aceh kecurangan-kecurangan juga sering terjadi, sejumlah guru juga ikut terlibat dalam proses terjadinya kecurangan. Menurut Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (KoBar GB) Sayuti Aulia, banyak guru yang diminta oleh atasannya agar membantu menggenjot nilai UN dengan cara membocorkan kunci jawaban,[6] sedangkan Ketua PGRI Aceh Ramli Rasyid mengatakan dari hasil penyelidikan, PGRI menemukan adanya dokumen ujian yang tak lagi bersegel. Tim investigasi juga menemukan adanya jawaban ujian yang beredar lewat SMS, sesaat sebelum ujian berlangsung.[7]
Di Kota Medan, kecurangan dalam ujian juga banyak terjadi. LEMBAGA swadaya masyarakat (LSM) Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan keterlibatan sindikat besar pada puluhan kasus kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) di Medan. Dari puluhan kecurangan yang ditemukan KAMG, yang paling menonjol adalah jual beli kunci jawaban. "Kami fokus menelusuri kasus pembocoran soal UN ini Makin hari makin jelas, kasus ini melibatkan sindikat besar.[8]
Kecurangan dalam Ujian Nasional bisa terjadi karena adanya kesamaan target antara sekolah (dalam hal ini diwakilkan kepala sekolah) dan para murid. Bagi seorang kepala sekolah, baik atau tidaknya nilai yang ia peroleh dalam memimpin adalah berbanding lurus dengan besar atau kecilnya persentase jumlah murid yang lulus. Sedangkan untuk para murid, kelulusan adalah sebuah target yang memang harus di dapat. Dengan adanya kesamaan tujuan ini kegiatan contek mencontek yang seharusnya dihentikan seakan justru “difasilitasi” oleh pihak sekolah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus kecurangan dalam ujian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Hilangnya Nilai Kejujuran
Ada ungkapan yang mengatakan, “mencari orang jujur di zaman sekarang ini adalah hal yang sangat sulit”. Hal ini disebabkan sebagian besar manusia tidak lagi mementingkan nilai-nilai kejujuran. Kejujuran hanya dipakai sebagai kata-kata untuk memuluskan langkah individu-individu yang memiliki kepentingan sempit. Dengan kata lain, kejujuran yang seharusnya memiliki nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat, kini telah berubah menjadi kalimat pemanis bibir belaka. Kondisi seperti ini bisa kita temui di semua lapisan masyarakat. Hal ini jelas terlihat pada prilaku tokoh-tokoh publik dan elit politik yang sedang berjuang memperebutkan kekuasaan. Mereka dengan mudahnya menyebarkan janji-janji yang tidak pernah mereka tepati ketika sudah memperoleh kekuasaa, lain di mulut lain di dalam tindakan.”
Kebiasaan mencontek di sekolah yang saat ini sering dianggap hal biasa merupakan pondasi awal hilangnya nilai-nilai kejujuran. Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat awal menempa moral masyarakat justru telah menjadi “sekolah dasar” bagi generasi bangsa yang tidak memiliki kejujuran. Generasi muda seolah di tempa untuk menjadi penerus yang tidak jujur. Prilaku mencontek yang terlihat sudah kronis, masih saja dianggap sebagai hal biasa. Saat ini mencontek seolah dianggap sebagai satu usaha yang sah-sah saja bila dilakukan karena tetap dilakukan dengan “perjuangan” dan kerja keras.” Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia sering dianggap telah gagal mentransformasikan nilai-nilai kejujuran kepada anak didiknya.
Penanaman nilai kejujuran saat ini hanya diajarkan sebatas penuturan bahwa “kebohongan adalah sesuatu yang tidak baik” tanpa disertai dengan sanksi-sanksi sosial yang mengikat. Yang terjadi justru sejak dini para pelajar sudah terbiasa dengan prilaku mencuri dan mencontek dalam ujian. Pendidikan telah menjadi sarana bersaing memperebutkan masa depan secara tidak sehat. Kondisi seperti ini bila dibiarkan akan membentuk karakter bangsa yang tidak memiliki nilai kejujuran dan kebohongan akan dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan.

Hilangnya Budaya malu
Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, ''Apabila kamu sudah tidak punya
perasaan malu, maka lakukanlah apa pun yang kamu mau.'' Dari riwayat tersebut
Rasulullah ingin mengajarkan bahwa malu merupakan salah satu prasyarat untuk
ketakwaan, dalam artian ketika ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan
perasaan malu ada dalam hati maka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang.[9] Sebagai orang Aceh yang memiliki dasar budaya yang berlandaskan syariat Islam, sudah sewajarnya kita memperhatikan sabda Rasulullah tersebut. Jadi kita harus memiliki budaya malu, dalam artian apabila kita melakukan kesalahan dan kebohongan, kita harus merasa berdosa dan sudah seharusnya kita merasa malu. Baik malu pada diri kita sendiri, orang lain (masyarakat), dan kepada Allah SWT. karena apabila kita tidak mempunyai rasa malu, maka tidak ubahnya kita seperti binatang yang bisa melakukan apapun yang diinginkan.
Dalam soal kebiasaan mencontek, saat ini penerapan budaya malu sangat lemah. Padahal mencontek adalah sebuah kebohongan berlapis. Ketika seseorang melakukan kegiatan mencontek, maka dia akan membohongi dirinya sendiri, orang lain (guru, orangtua, dan teman) serta Allah SWT. Namun hal ini menjadi hilang karena penerapan budaya malu tidak diterapkan dalam permasalahan mencontek.
Menghilangkan permasalahan mencontek dari dunia pendidikan di Indonesia pasti sangat sulit. Namun dengan penerapan budaya malu setidaknya kita bisa meminimalisir permasalahan ini. Penerapan budaya malu yang perlu dilakukan bukanlah memberikan hukuman dengan mempermalukan si pelaku, melainkan melakukan internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi budaya malu tersebut. .Setiap orang yang mencontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia mencontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Salah satu yang harus digunakan untuk meminimalisir masalah mencontek adalah penerapan nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa. Dengan penerapan budaya malu, maka akan memunculkan rasa ketidakpuasan atas "prestasi" akademik yang diperoleh dengan cara mencontek.
  

Penutup
Pendidikan sejatinya adalah sebuah proses yang harus dijalani manusia untuk memperoleh pencerahan dari ketidaktahuan. Untuk memperoleh pengetahuan dibutuhkan sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam proses pendidikan tersebut, diperlukan penanaman nilai-nilai budi pekerti agar kelak ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat bagi orang lain.
Namun saat ini, proses pendidikan tersebut sering mengabaikan penanaman nilai-nilai budi pekerti. Kasus kecurangan dalam ujian adalah contoh betapa salah satu nilai budi pekerti yaitu kejujuran dikesampingkan. Sekolah-sekolah juga terlalu sering menganggap bahwa mencontek bukanlah sebuah permasalahan. Sehingga para siswa terbiasa melakukan kegiatan mencontek tanpa memiliki beban moril.
Ketika kita memberikan pertanyaan kepada seorang siswa tentang mengapa ia perlu mencontek, dapat dipastikan ia akan menjawab, untuk mendapatkan nilai yang baik. Kemudian bila dilanjutkan muncul jawaban yang saling terkait yaitu, agar nanti setelah lulus, mendapatkan pekerjaan yang baik, untuk hidup layak. Maka akan muncul pertanyaan kita, apa yang akan ia lakukan untuk memperoleh kehidupan yang layak apabila bekalnya adalah pengalaman dan pengetahuannya tentang berbuat sebuah kecurangan (mencontek)
Memang akan sulit untuk membuat korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi, kesannya akan terlihat seperti terlalu spekulatif. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek.
Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, dunia pendidikan tidak akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.


[1] Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com. (diakses tanggal 3 Maret 2011)
[2] Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan, http;//www.depdiknas.go.id/Jurnal (diakses tanggal 4 Maret 2011)
[3] Suparno, Paul, DR, SJ, 2000, Sekolah Memasung Kebebasan Berfikir Siswa, https://www.kompas.com/kompas (diakses tanggal 17 Maret 2011)
[4] Alhadza, op.cit
[5] Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi Rina, 2004, Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa, http://www.pikiran-rakyat.com (diakses tanggal 17 Maret 2011)
[6] http://aceh.tribunnews.com/news/printit/5282 (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[7] http://www.kbr68h.com/berita/daerah/5651-pgri-temukan-kecurangan-un-di-aceh (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[8] http://bataviase.co.id/node/145416 (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[9] http://www.scribd.com/doc/25525402/Budaya-Malu (diakses tanggal 29 Maret 2011)

Tidak ada komentar: