Sabtu, 27 April 2013

Butir Pasir

Penguasa...
Apa jadinya kami kini...?

ketika kalbu mu terhias serakah...
minum mu adalah darah...

ketika lisan bersumpah serapah...
Ayat Suci bagimu sampah...

Engkau harusnya Ulil Amri...
tapi kau kebiri kami...


terhadapmu, para Aulia menyerah pasrah....
dan pastikan, gelap adalah arah...


Dunia...
kemana harus nya kami...?

Kamis, 04 Oktober 2012

Detik

Mengalun lembut tabuhan nadi kehidupan...

Mendayu-dayu...
tapi bukanlah letih apalagi sedih...
Meratap dalam...
namun tak menyayat apalagi pedih..


detik itu...bahasa..
harus di mengerti...
detik itu...pertanda..
harus dipahami...

detik adalah tawa dan tangis, suka dan duka..
namun detik bisa juga adalah hampa...



Minggu, 15 Juli 2012

di Sebuah Pagi..

"oooo...bawalah aku selalu kelangit biru..."

Sepenggal lirik lagu boomerang membawa Daiyan memulai pagi yang langitnya cerah merambah ke tiap sudut kota cantik bernama Banda Aceh. Sepenggal lirik yang membangkitkan semangatnya yang hampir padam karna kerinduan pada kampung halaman. Yah, baru saja tiga hari yang lalu Daiyan sampai di Kota Banda Aceh ini, tp semua yang ada di tanah kelahirannya menyayat dan mengusik sisi sensitifnya.., kedua orang tua, adik-adik..dan tentu saja kekasih hatinya...semua seakan terasa sangat jauh. Hari pertama di kantor baru ini, semua terlihat normal. Sambutan dari senior nya dulu di Kampus terasa bersahabat. Petit namanya, memang nama yg asing bagi orang Indonesia, apalagi di daerah Aceh, dimana hampir 90% nama anak akan "berkiblat" pada nama-nama Islami.

"hey yan, kapan sampai ?" gimana di Banda..bakalan kerasan gak kira-kira ?"
ehh..bang Petit, Alhamdulillah udah sampai di Banda hari Jumat kemarin, yaa..Insya Allah diusahakan kerasan bang.."
"gimana..udah sarapan..?"
belum lagi Daiyan menjawab Petit langsung menyambar
"udah..ayo kita ke WarKop di sini sebelum semua aktifitas inti dilakukan kita wajib ngupi dulu..."
"hmmm...boleh juga bang, kebetulan mata masih ngantuk ni, tadi malam susah tidur, grogi mau masuk kantor baru...hahaha"
"ahh...apa yang buat grogi, nyantai aja, toh ada aku di sini nyantai aja kayak di pantai...hahaha"

Setelah sedikit berkelakar akhirnya mereka pun berangkat ke WarKop yang ada di dekat kantor mereka. Suasana di WarKop Taufik begitu ramai, mulai dari pekerja kantoran, Pegawai negeri, hingga pedagang pasar ngumpul dan berkelakar sambil menikmati secangkir kopi mereka.

"Sanger saboh beuh, kau minum apa Yan?"
"ha..? td yang abang pesan apa? sengar..?" aku juga pesan itu bang"
"hahahaha...Sanger..Yan, ahh kau ngerusak nama minuman khas sini aja..."
"hahaha..ya maaf bang kan ane baru di sini.."
"sanger thu salah satu minuman khas di warung kopi sini Yan, itu isinya kopi di campur susu, hanya saja cara mereka meramunya sangat berbeda, yaitu dengan mengangkat saringat kopinya setinggi mungkin dan menampungnya di cangkir yang sudah di taruh susu, pokoknya rasanya maknyus dah.."

Setelah Petit menjelaskan secara rinci tentang Sanger, muncul rekan-rekan baru Daiyan yang lain, Abdul, Adri, Tomo, dan Priyatmo.

"Woi Tit..maen tunggal aja ni, gak nunggu-nunggu ya" cecar si Adri.
"ahh..mana tunggal, ni kenali Daiyan adik ku di kampus dulu, sekarang jadi partner kita di kantor"
"weeh..mantap ni ada tambahan skuad tim futsal kita" sambar si Abdul.."

dan mereka pun membaur sambil menikmati sarapan dan kopi mereka. Selepas sarapan, mereka pun kembali ke kantor dan memulai aktifitas. Daiyan menempati kantor di lantai dua bersama Petit, Abdul, dan Tomo.

"well, Alhamdulillah sepertinya kawan-kawan di sini juga sangat bersahabat, insya Allah mereka mampu membenamkan sebentar rasa rindu ku pada segala yang ada di kota kelahiranku." gumam Daiyan dalam hati.

Selasa, 29 Mei 2012

PASTI MATI...!!!


Semua..
Bagai tiada harapan di keabadian…
Bagai tiada harapan di keabadian…
Meraung dan meratap kau pada fatamorgana..
Seakan di sini kau akan kekal…
dan kelak terberangus dalam baka…

ahhh...
Apa perduli ku pada angan kalian…
Apa guna ku pikirkan asa kosong kalian…
Di sini hanya perlu ego dan tatap antusias…
Lalu melanglang pasti dalam langkah gontai…

Siapa yang butuh kalian…
Siapa yang perlu tatap iba palsu itu…
Cam kan lah….!!!
Semua akan ku rengkuh…
Semua akan ku renggut…
hingga muak ku dan ku hempaskan semua kembali…

Rabu, 22 Juni 2011

Mencontek (Memperoleh Nilai Dengan Cara Menghilangkan “Nilai”)


Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, nilai akhir dari sebuah ujian adalah tujuan utama. Nilai terbaik selalu mewakilkan pelajar yang terbaik, hal ini kemudian menjadikan pelajar memiliki orientasi bahwa sekolah adalah untuk mendapatkan nilai baik dan lulus. Peran orang tua dan lingkungan yang selalu menciptakan “suasana” bahwa yang mendapatkan nilai tertinggi adalah yang terbaik juga memaksa seorang anak/pelajar untuk berusaha semaksimal mungkin mendapatkan nilai tertinggi. Orientasi pelajar yang cenderung hanya mementingkkan nilai tinggi untuk lulus ujian dapat menjadi bumerang bagi pelajar itu sendiri. Sebab mereka sering mengabaikan proses mendapatkan nilai tersebut dan hanya mencari cara mendapatkan nilai terbaik. Inilah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, tidak jujur dalam ujian dan melakukan praktek mencontek.
Menurut Ratna Megawangi (2005), Proses belajar yang orientasinya hanya untuk mendapatkan nilai biasanya hanya melibatkan aspek kognitif (hafalan dan drilling), dan tidak melibatkan aspek afektif, emosi, sosial, dan spiritual. Memang sulit untuk mengukur aspek-aspek tersebut, sehingga bentuk soal-soal pasti hafalan atau pilihan berganda (kognitif). Pelajaran agama, PPKN, dan musik yang seharusnya melibatkan aspek afektif, ternyata juga di "kognitifkan" (hafalan) sehingga tidak ada proses refleksi dan apresiasi.[1]
Ada orang yang beranggapan mencontek sebagai masalah biasa saja, namun tidak sedikit juga yang memandang serius masalah ini. Jarang sekali kita dengar masalah mencontek dibahas secara serius, biasanya cukup diselesaikan oleh guru atau paling tinggi pada tingkat pimpinan perguruan/sekolah itu sendiri. Jarang terdengar ada sanksi, skorsing, pengurangan nilai atau pembatalan kenaikan kelas bagi siswa-siswi yang ketahuan mencontek dalam ulangan. Sekolah juga tidak pernah mengadakan rapat wali murid, guru, kepala sekolah, dan pembina pendidikan untuk membahas masalah mencontek, mungkin karena beranggapan bahwa mencontek adalah masalah individu si anak.
Mencontek juga mengakibatkan penilaian guru menjadi sangat subyektif, kebanyakan para guru hanya menilai jawaban siswa saja, tanpa melihat proses bagaimana ia mendapatkan nilai tersebut, sehingga menimbulkan kerugiaan tidak hanya pada siswa yang pintar tetapi juga pada siswa yang malas. Jika ini terus dibiarkan, maka dunia pendidikan tidak akan maju, bahkan kelak menciptakan manusia tidak jujur, malas, yang cenderung mencari jalan pintas dalam segala sesuatu dan akhirnya menjadi manusia yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

Pengertian Mencontek
Mencontek atau menjiplak atau ngopek/ngepek menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S. Purwadarminta adalah mencontoh, meniru, atau mengutip tulisan, pekerjaan orang lain sebagaimana aslinya. Dalam artikel yang ditulis oleh Alhadza (2004) kata mencontek sama dengan cheating/curang. Beliau mengutip pendapat Bower yang mengatakan cheating adalah perbuatan yang menggunakan cara-cara yang tidak sah untuk tujuan yang sah/terhormat yaitu mendapatkan keberhasilan akademis atau menghindari kegagalan akademis.[2] Sedangkan menurut Suparno, Segala sistem dan taktik penyontekan sudah dikenal siswa. Sistem suap agar mendapat nilai baik, juga membayar guru agar membocorkan soal ulangan, sudah menjadi praktik biasa dalam dunia pendidikan di Indonesia.[3]
Mencontek dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dilakukan dengan usaha sendiri ataupun yang dilakukan dengan cara bekerjasama dengan teman atau bahkan guru. Mencontek dengan Usaha sendiri dapat dilakukan dengan membuat catatan sendiri, membuka  buku, membuat coretan-coretan dikertas kecil, ditangan, meja, dan di media lain yang bisa disembunyikan bahkan ada juga yang dilakukan dengan mencuri jawaban teman. Sedangkan mencontek yang bekerjasama bisa dilakukan dengan cara membuat kesepakatan terlebih dahulu dengan teman dan membuat kode-kode tertentu, dalam hal saling berbagi serta meminta jawaban kepada teman.
Dalam makalah yang ditulis Alhadza (2004)  mengenai masalah mencontek yang ia istilahkan dengan cheating, ia menyebarkan kuesioner dengan pertanyaan terbuka kepada sekitar 60 orang.[4] Dari hasil kuisioner tersebut didapatkan jawaban tentang alasan seseorang melakukan mencontek/cheating.
1.         Karena terpengaruh setelah melihat orang lain mencontek meskipun pada awalnya tidak ada niat melakukannya.
2.         Terpaksa membuka buku karena pertanyaan ujian terlalu membuku (buku sentris) sehingga memaksa peserta ujian harus menghapal kata demi kata dari buku teks.
3.         Merasa dosen/guru kurang adil dan diskriminatif dalam pemberian nilai.
4.         Adanya peluang karena pengawasan yang tidak ketat.
5.         Takut gagal. Yang bersangkutan tidak siap menghadapi ujian tetapi tidak mau menundanya dan tidak mau gagal.
6.         Ingin mendapatkan nilai tinggi tetapi tidak bersedia mengimbangi dengan belajar keras atau serius.
7.         Tidak percaya diri. Sebenarya yang bersangkutan sudah belajar teratur tetapi ada kekhawatiran akan lupa lalu akan menimbulkan kefatalan, sehingga perlu diantisipasi dengan membawa catatan kecil.
8.         Terlalu cemas menghadapi ujian sehingga hilang ingatan sama sekali lalu terpaksa buka buku atau bertanya kepada teman yang duduk berdekatan.
9.         Mencari jalan pintas dengan pertimbangan daripada mempelajari sesuatu yang belum tentu keluar lebih baik mencari bocoran soal.
10.     Menganggap sistem penilaian tidak objektif, sehingga pendekatan pribadi kepada dosen/guru lebih efektif daripada belajar serius.
11.     Penugasan guru/dosen yang tidak rasional yang mengakibatkan siswa/mahasiswa terdesak sehingga terpaksa menempuh segala macam cara.

Menurut Vegawati, Oki dan Noviani, (2004), pada saat dorongan tingkah laku mencontek muncul, terjadilah proses atensi, yaitu muncul ketertarikan terhadap dorongan karena adanya harapan mengenai hasil yang akan dicapai jika ia mencontek.[5] Pendidikan yang hanya berorientasi pada nilai semata, tanpa memperdulikan bagaimana proses memperoleh nilai tersebut akan mendorong terjadinya kegiatan mencontek. Bila permasalahan ini hanya dianggap masalah sepele, nilai kejujuran akan hilang dari diri generasi bangsa ini.

Kasus kecurangan Ujian di Banda Aceh dan di Medan
Dalam dunia pendidikan di Indonesia, kasus kecurangan dalam ujian bukanlah barang baru. Namun permasalahan ini baru mulai muncul kepermukaan sejak lahirnya era reformasi dan munculnya sistem UN (Ujian Nasional). sejumlah permasalah kecurangan silih berganti ditemukan dalam pelaksanaan UN.
Untuk di Kota Banda Aceh kecurangan-kecurangan juga sering terjadi, sejumlah guru juga ikut terlibat dalam proses terjadinya kecurangan. Menurut Ketua Koalisi Barisan Guru Bersatu (KoBar GB) Sayuti Aulia, banyak guru yang diminta oleh atasannya agar membantu menggenjot nilai UN dengan cara membocorkan kunci jawaban,[6] sedangkan Ketua PGRI Aceh Ramli Rasyid mengatakan dari hasil penyelidikan, PGRI menemukan adanya dokumen ujian yang tak lagi bersegel. Tim investigasi juga menemukan adanya jawaban ujian yang beredar lewat SMS, sesaat sebelum ujian berlangsung.[7]
Di Kota Medan, kecurangan dalam ujian juga banyak terjadi. LEMBAGA swadaya masyarakat (LSM) Komunitas Air Mata Guru (KAMG) menemukan keterlibatan sindikat besar pada puluhan kasus kecurangan pelaksanaan ujian nasional (UN) di Medan. Dari puluhan kecurangan yang ditemukan KAMG, yang paling menonjol adalah jual beli kunci jawaban. "Kami fokus menelusuri kasus pembocoran soal UN ini Makin hari makin jelas, kasus ini melibatkan sindikat besar.[8]
Kecurangan dalam Ujian Nasional bisa terjadi karena adanya kesamaan target antara sekolah (dalam hal ini diwakilkan kepala sekolah) dan para murid. Bagi seorang kepala sekolah, baik atau tidaknya nilai yang ia peroleh dalam memimpin adalah berbanding lurus dengan besar atau kecilnya persentase jumlah murid yang lulus. Sedangkan untuk para murid, kelulusan adalah sebuah target yang memang harus di dapat. Dengan adanya kesamaan tujuan ini kegiatan contek mencontek yang seharusnya dihentikan seakan justru “difasilitasi” oleh pihak sekolah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus kecurangan dalam ujian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Hilangnya Nilai Kejujuran
Ada ungkapan yang mengatakan, “mencari orang jujur di zaman sekarang ini adalah hal yang sangat sulit”. Hal ini disebabkan sebagian besar manusia tidak lagi mementingkan nilai-nilai kejujuran. Kejujuran hanya dipakai sebagai kata-kata untuk memuluskan langkah individu-individu yang memiliki kepentingan sempit. Dengan kata lain, kejujuran yang seharusnya memiliki nilai penting dalam kehidupan bermasyarakat, kini telah berubah menjadi kalimat pemanis bibir belaka. Kondisi seperti ini bisa kita temui di semua lapisan masyarakat. Hal ini jelas terlihat pada prilaku tokoh-tokoh publik dan elit politik yang sedang berjuang memperebutkan kekuasaan. Mereka dengan mudahnya menyebarkan janji-janji yang tidak pernah mereka tepati ketika sudah memperoleh kekuasaa, lain di mulut lain di dalam tindakan.”
Kebiasaan mencontek di sekolah yang saat ini sering dianggap hal biasa merupakan pondasi awal hilangnya nilai-nilai kejujuran. Perguruan tinggi dan lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat awal menempa moral masyarakat justru telah menjadi “sekolah dasar” bagi generasi bangsa yang tidak memiliki kejujuran. Generasi muda seolah di tempa untuk menjadi penerus yang tidak jujur. Prilaku mencontek yang terlihat sudah kronis, masih saja dianggap sebagai hal biasa. Saat ini mencontek seolah dianggap sebagai satu usaha yang sah-sah saja bila dilakukan karena tetap dilakukan dengan “perjuangan” dan kerja keras.” Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia sering dianggap telah gagal mentransformasikan nilai-nilai kejujuran kepada anak didiknya.
Penanaman nilai kejujuran saat ini hanya diajarkan sebatas penuturan bahwa “kebohongan adalah sesuatu yang tidak baik” tanpa disertai dengan sanksi-sanksi sosial yang mengikat. Yang terjadi justru sejak dini para pelajar sudah terbiasa dengan prilaku mencuri dan mencontek dalam ujian. Pendidikan telah menjadi sarana bersaing memperebutkan masa depan secara tidak sehat. Kondisi seperti ini bila dibiarkan akan membentuk karakter bangsa yang tidak memiliki nilai kejujuran dan kebohongan akan dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan.

Hilangnya Budaya malu
Dalam sebuah riwayat Rasulullah bersabda, ''Apabila kamu sudah tidak punya
perasaan malu, maka lakukanlah apa pun yang kamu mau.'' Dari riwayat tersebut
Rasulullah ingin mengajarkan bahwa malu merupakan salah satu prasyarat untuk
ketakwaan, dalam artian ketika ingin melakukan suatu kesalahan atau maksiat dan
perasaan malu ada dalam hati maka keinginan untuk melakukannya menjadi hilang.[9] Sebagai orang Aceh yang memiliki dasar budaya yang berlandaskan syariat Islam, sudah sewajarnya kita memperhatikan sabda Rasulullah tersebut. Jadi kita harus memiliki budaya malu, dalam artian apabila kita melakukan kesalahan dan kebohongan, kita harus merasa berdosa dan sudah seharusnya kita merasa malu. Baik malu pada diri kita sendiri, orang lain (masyarakat), dan kepada Allah SWT. karena apabila kita tidak mempunyai rasa malu, maka tidak ubahnya kita seperti binatang yang bisa melakukan apapun yang diinginkan.
Dalam soal kebiasaan mencontek, saat ini penerapan budaya malu sangat lemah. Padahal mencontek adalah sebuah kebohongan berlapis. Ketika seseorang melakukan kegiatan mencontek, maka dia akan membohongi dirinya sendiri, orang lain (guru, orangtua, dan teman) serta Allah SWT. Namun hal ini menjadi hilang karena penerapan budaya malu tidak diterapkan dalam permasalahan mencontek.
Menghilangkan permasalahan mencontek dari dunia pendidikan di Indonesia pasti sangat sulit. Namun dengan penerapan budaya malu setidaknya kita bisa meminimalisir permasalahan ini. Penerapan budaya malu yang perlu dilakukan bukanlah memberikan hukuman dengan mempermalukan si pelaku, melainkan melakukan internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi budaya malu tersebut. .Setiap orang yang mencontek akan merasa bahwa setiap orang bahkan dirinya sendiri akan mengawasi dan menghakiminya ketika dia mencontek. Suatu ironi hal ini tidak berlaku dalam masyarakat kita yang dikenal dengan mitos masyarakat yang santun, ramah, bermoral dll.
Salah satu yang harus digunakan untuk meminimalisir masalah mencontek adalah penerapan nilai-nilai agama yang akan memunculkan perasaan bersalah dan perasaan berdosa. Dengan penerapan budaya malu, maka akan memunculkan rasa ketidakpuasan atas "prestasi" akademik yang diperoleh dengan cara mencontek.
  

Penutup
Pendidikan sejatinya adalah sebuah proses yang harus dijalani manusia untuk memperoleh pencerahan dari ketidaktahuan. Untuk memperoleh pengetahuan dibutuhkan sebuah proses yang harus dilalui secara bertahap, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam proses pendidikan tersebut, diperlukan penanaman nilai-nilai budi pekerti agar kelak ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat bagi orang lain.
Namun saat ini, proses pendidikan tersebut sering mengabaikan penanaman nilai-nilai budi pekerti. Kasus kecurangan dalam ujian adalah contoh betapa salah satu nilai budi pekerti yaitu kejujuran dikesampingkan. Sekolah-sekolah juga terlalu sering menganggap bahwa mencontek bukanlah sebuah permasalahan. Sehingga para siswa terbiasa melakukan kegiatan mencontek tanpa memiliki beban moril.
Ketika kita memberikan pertanyaan kepada seorang siswa tentang mengapa ia perlu mencontek, dapat dipastikan ia akan menjawab, untuk mendapatkan nilai yang baik. Kemudian bila dilanjutkan muncul jawaban yang saling terkait yaitu, agar nanti setelah lulus, mendapatkan pekerjaan yang baik, untuk hidup layak. Maka akan muncul pertanyaan kita, apa yang akan ia lakukan untuk memperoleh kehidupan yang layak apabila bekalnya adalah pengalaman dan pengetahuannya tentang berbuat sebuah kecurangan (mencontek)
Memang akan sulit untuk membuat korelasi antara perilaku menyontek di sekolah dengan perilaku kejahatan seperti korupsi, kesannya akan terlihat seperti terlalu spekulatif. Meskipun demikian tak dapat disangkal bahwa menyontek bisa membawa dampak negatif baik kepada individu, maupun bagi masyarakat. Sebagai bagian dari aspek moral, maka terjadinya menyontek sangat ditentukan oleh faktor kondisional yaitu suatu situasi yang membuka peluang, mengundang, bahkan memfasilitasi perilaku menyontek.
Jika masalah mencontek ini masih saja dianggap sepele oleh guru, kepala sekolah, pengawas, dinas pendidkan para pakar pendidikan dan pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan, dunia pendidikan tidak akan maju, kreatifitas siswa akan hilang yang tumbuh mungkin orang-orang yang tidak jujur yang bekerja disemua sektor kehidupan.


[1] Megawangi, Ratna, 2005, Indonesia Merdeka, Manusia Indonesia Merdeka?. http://www.suarapembaruan.com. (diakses tanggal 3 Maret 2011)
[2] Alhadza, Abdullah, 2004, Masalah menyontek (Cheating) di Dunia Pendidikan, http;//www.depdiknas.go.id/Jurnal (diakses tanggal 4 Maret 2011)
[3] Suparno, Paul, DR, SJ, 2000, Sekolah Memasung Kebebasan Berfikir Siswa, https://www.kompas.com/kompas (diakses tanggal 17 Maret 2011)
[4] Alhadza, op.cit
[5] Vegawati, Dian., Oki, Dwita.,P.S., Noviani, Dewi Rina, 2004, Perilaku Mencontek di Kalangan Mahasiswa, http://www.pikiran-rakyat.com (diakses tanggal 17 Maret 2011)
[6] http://aceh.tribunnews.com/news/printit/5282 (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[7] http://www.kbr68h.com/berita/daerah/5651-pgri-temukan-kecurangan-un-di-aceh (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[8] http://bataviase.co.id/node/145416 (diakses tanggal 21 Maret 2011)
[9] http://www.scribd.com/doc/25525402/Budaya-Malu (diakses tanggal 29 Maret 2011)

Selasa, 15 Maret 2011

Sekarang Kembali...

Sekarang aku sudah beranjak dan berlari..
Sekarang aku bisa kembali memulai...tapi,
Sekarang aku juga bisa kembali memutar...

Untuk menjawabnya...
Hanya perlu sedikit mengulang kembali pada pola alur pikirku;
Perhatikan...,Pastikan...,dan Dapatkan...

Sederhananya, tujuan hidup akan selalu mengarah pada dua kata, yaitu Keberhasilan...dan Kegagalan...
Kemudian, akan berlabuh pada satu kepastian yaitu Kematian...
Setelah paham, kenapa harus ada ragu???

Sekarang kembali pada aku...atau..
Sekarang aku kembali...
Ahh...rasanya pilihan yang ke dua tidak rasional bagi ku...

Kamis, 14 Agustus 2008

Agustus sekali lagi...

Yak...sekali lagi bulan merah putih ini kita lewati...
Sekali lagi kita bersama-sama di sebuah lapangan untuk berdiri kosong selama 2 jam.
Sekali lagi kita beramai-ramai merayakan hari yang di sebut kemerdekaan.
Tapi apakah kita telah merdeka saudara ku.. ??!

Untuk menjawab pertanyaan itu sepertinya kita perlu merenung panjang...
Atau mungkin di antara kita memang sudah ada yang merasa bahwa kita telah merdeka.
Hmmm...renungkanlah...

Berdasarkan apa yang aku lihat dan aku rasakan, kata kemerdekaan yang selalu kita dengungkan setiap bulan merah-putih ini mungkin hanyalah sebuah pembodohon yang membuat seluruh bangsa ini terbuai dan tertidur dalam mimpi kemerdekaan yang semu. Ketika bung Karno mengumandangkan PROKLAMASI, bangsa ini memang telah merdeka. Indonesia telah merdeka dari penjajahan fisik yang telah dirasakan ratusan tahun. Indonesia merayakan kemerdekaan tersebut dengan euforia yang tanpa akhir. Indonesia lupa bahwa Indonesia saat itu baru saja dilahirkan, bagai seorang bayi yang baru saja dilahirkan Indonesia memerlukan pasokan gizi yang baik agar Indonesia kelak menjadi sebuah negara yang tidak hanya besar tapi juga cerdas dan memiliki kedaulatan. Negara ini akan besar dan berdaulat bila generasi mudanya mampu menumbuhkan rasa NASIONALIS dalam dirinya dan memberikan kemampuan terbaiknya untuk negara Indonesia yang kita cintai ini. Gizi inilah yang dibutuhkan Indonesia, akan tetapi Nasionalisme bangsa ini seakan hilang ditelan bumi seiring dengan kemerdekaan yang kita dapatkan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang juga memiliki begitu banyak putra-putri penuh potensi. Kita bisa lihat ini dari beberapa prestasi yang telah di ukir generasi muda kita di berbagai ajang ilmu pengetahuan dan sains tingkat Internasional. Hanya saja, banyak generasi muda kita yang mendedikasikan ilmu dan kemampuannya ke negara lain hanya dikarenakan Indonesia sedang sekarat dan tidak mampu memberikan uang dan kehidupan yang layak seperti yang didapatkan mereka di Negara lain. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada era pra-kemerdekaan dimana generasi bangsa ini menjadi tulang punggung kemerdekaan dan kemajuan bangsa walau Indonesia saat itu sedang sakit parah. Putra-putri bangsa Indonesia banyak menuntut ilmu hingga keberbagai negara dan ketika berhasil, mereka membawa apa yang mereka dapatkan untuk diberikan kepada bangsa ini. Bukankah seharusnya kita miris dengan apa yang terjadi saat ini ? Hal ini diperparah lagi dengan hadirnya cendikiawan dan interlektual bangsa Indonesia yang justru memakai ilmu pengetahuannya untuk memperkaya dirinya dan membodohi bangsanya sendiri, dimana hatimu kawan ?!


Setiap insan yang menetap dan menggantungkan kehidupannya di tanah air yang sangat kita cintai ini tidak pernah memikirkan tentang apa yang telah mereka berikan untuk Indonesia, justru mereka selalu menuntut tentang apa yang Indonesia berikan untuk mereka. Ini yang menyebabkan Indonesia mudah untuk dimasuki oleh penjajahan model baru yaitu penjajahan kapitalis. Walaupun tidak semua menyadari akan penjajahan yang kita alami saat ini, pada kenyataannya kita memang di jajah. Ketergantungan kita yang sangat tinggi pada dunia barat khususnya Amerika telah membuat kedaulatan negara kita perlu untuk kembali dipertanyakan. Bargaining Position kita semakin rendah apabila kita dihadapkan pada tawar-menawar mengenai berbagai kebijakan dalam dan luar negeri kita. Berbagai intervensi yang dilakukan oleh Amerika terhadap kebijakan-kebijakan yang kita ambil justru kita iyakan dengan anggukan kepala, Lalu dimana kedaulatan kita ? Hal ini diperparah lagi dengan krisis kepemimpinan yang kita alami. Kita belum menemukan seorang pemimipin yang mampu membawa kita kearah perubahan, seorang pemimpin yang mampu dan berani mengatakan tidak pada setan-setan kapitalis. Mungkin untuk sosok seperti ini kita bisa mengambil contoh pada sosok Fidel Castro, walaupun tidak perlu seperontal Fidel. Kita masih bisa menjalin hubungan dengan pengusaha-pengusaha Amerika seperti yang dilakukan Cili dan Venezuela tanpa harus mengikuti dan mengalami Intervensi dari Amerika.

Dalam diri Putra-putri bangsa ini pasti akan ditemukan sosok-sosok yang akan mampu membawa Negara ini keluar dari kehancurannya. Tapi kapan waktunya kita tidak akan pernah tahu. Semoga pada Agustus tahun depan yang akan kita rayakan sekali lagi kita akan menemukannya, dan kita akan merayakan Agustus yang sesungguhnya. SEMOGA.

Saat ini kita sedang dan masih terpuruk, tapi apakah kita harus lari dan menyelamatkan diri kita masing-masing ? Apakah kita tidak ingin berbuat sesuatu yang berguna untuk Negara yang kita cintai ini yang kelak akan berguna untuk anak-anak dan cucu kita ? apakah kita hanya bisa berpikir "untuk apa aku memperjuangkan sesuatu yang tidak akan aku nikmati ?
Nurani...dimana kau sembunyi...